Minggu, 03 November 2019

Bertaruh Nyawa demi Sesuap Nasi

Saat Ayam Jago berkokok, Pak Ahmad dan istrinya segera sarapan. Sarapannya sangat sederhana yakni cukup dengan beberapa singkong rebus yang dicampuri parutan kelapa asin. Istrinya tak lupa membuatkan teh anget untuk Pak Ahmad. Namun teh itu tidak diminum saat akhir sarapan, melainkan ditaruh di botol bekas untuk dibawa berkebun.

Pak Ahmad biasa jalan kaki dari rumah ke kebun miliknya yang berada di Jalan Duwet, Silayur, Ngaliyan. Perjalanan kira-kira menempuh jarak dua ratus meter. Jarak yang cukup jauh bagi kaki Pak Ahmad yang sudah cukup renta termakan usia.

Ladang Pak Ahmad tidaklah besar yaitu sekitar lima puluh meter persegi. Namun lahan beliau tidak terletak pada tanah yang datar melainkan pada tanah yang miring dan terletak di jurang. Di daerah yang rawan longsor tersebut, hampir tiap hari Pak Ahmad bertaruh nyawa demi sesuap nasi yang akan dimakan beserta istrinya.

Pada lahan yang sempit dan berbahaya itulah, beliau menanam beberapa jenis tanaman seperti singkong, ketela dan pisang. Di pojokan kebunnya itu, terdapat sebuah pohon kelapa yang sudah cukup tinggi. Kelapa itulah yang sering diparut untuk dijadikan lauk singkong rebusnya.

“Sebenarnya saya tidak mau bersusah payah bertani. Namun karena pendidikan saya SD dan saya tidak punya bakat dagang, ya terpaksa bertani di daerah jurang ini” begitulah kira-kira ucapan beliau ketika diterjemahkan dari bahasa Jawa Krama Inggil.

Istrinya pun sebenarnya tidak menghendaki suaminya berkebun di jurang. Beliau merasa iba tiap kali melihat suaminya berpanas-panasan di jurang yang penuh resiko itu. Sedikit saja lengah, bisa-bisa nyawa melayang karena jatuh ke jurang. Namun karena tuntutan sesuap nasi, ia terpaksa merestui suaminya untuk berladang di sana.

Dulu, hasil kebun Pak Ahmad dijual ke tengkulak yang sering mampir ke sawahnya. Namun lama kelamaan tengkulak tersebut semakin mencekik Pak Ahmad. Tengkulak tersebut terus menerus mempermainkan harga sehingga Pak Ahmad hanya mendapatkan sedikit uang dari banyak hasil berkebun.

Istrinya tentu tidak tega melihat suaminya dibodohi terus menerus oleh  tengkulak. Akhirnya istrinya mencari kesana kemari orang yang mau membeli hasil taninya. Hingga bertemulah dengan Bu Supri, penjual gorengan yang tiap sore dan malam berjualan di pinggir Jalan Jalal.

Perbedaan harganya tidak terlalu signifikan. Namun Bu Supri konsisten dengan harga yang ditawarkan sehingga Pak Ahmad merasa lebih baik menjual hasil taninya langsung ke konsumen daripada melalui tengkulak.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar