Namun fakta yang terjadi di lapangan ialah tingkat pengangguran dari kalangan berpendidikan tinggi meningkat setiap tahun. Berdasarkan data Badan Pusat Statistika (BPS), dalam jangka waktu Februari 2017 hingga Februari 2019, jumlah pengangguran dari kalangan sarjana meningkat sebanyak 25% dan diploma meningkat 8,5%. Hal tersebut sangatlah berbeda 180 derajat dari ekspektasi mahasiswa. Ijazah tidak selamanya bisa menjamin kehidupan yang baik pasca-wisuda. Semuanya tergantung dari kepribadian mahasiswa itu sendiri mulai dari tingkat keuletan, tingkat ketahan-bantingan, dan berbagai sifat serta kemampuan khusus lainnya.
Tidak hanya itu saja, ada hal menarik lain dari data yang disajikan oleh BPS. Dalam rentang waktu yang sama, jumlah pengangguran dari kalangan Sekolah Dasar (SD) menururn sebanyak 25%, Sekolah Menengah Pertama (SMP) turun 6%, Sekolah Menengah Atas (SMA) turun 3,6%, dan Sekolah Menengah Kejuruan (SMK) turun 6,9%. Hal tersebut menunjukkan bahwa kualitas pendidikan yang tinggi tidak menjamin prospek kerja yang tinggi pula. Secara tidak langsung, hal tersebut menunjukkan bahwa para pekerja lulusan SMA kebawah lebih giat dan tidak pilah-pilih terkait pekerjaan.
Kenyataan di lapangan, para pekerja dari kalangan sarjana maupun diploma memiliki gengsi yang lebih tinggi dibandingkan lulusan SMA kebawah. Para alumni kampus tersebut tidak mau bekerja di bidang-bidang yang membutuhkan tenaga kasar seperti kuli, tukang bersih-bersih, penerima tamu, dan sebagainya. Mereka lebih menginginkan kerja di bidang-bidang yang tidak memerlukan banyak tenaga, bidang-bidang yang tidak perlu berpanas-panasan di bawah terik matahari, maupun bidang-bidang yang hanya perlu duduk di ruang ber-AC dengan mengoperasikan komputer atau laptop. Oleh karena itu pada bidang-bidang yang telah disebutkan, para pekerjanya dipenuhi oleh lulusan SMA kebawah.
Sekalipun banyak lulusan perguruan tinggi yang bekerja di perusahaan, namun tidak sedikit dari mereka yang bekerja tidak sesuai keahlian. Misalnya saja banyak alumni kampus yang bukan jurusan Perbankan bekerja di bank maupun koperasi. Beberapa alumni perguruan tinggi yang bukan lulusan kelautan maupun perikanan namun bekerja di bidang itu. Hal tersebut tentunya menguras banyak waktu untuk mengikuti pelatihan prakerja.
Saat sudah memasuki pertengahan kerja pun, tidak sedikit dari alumni kampus tersebut yang memilih keluar dari bidang tersebut. Ada yang beralasan tidak menikmati bidangnya, ada yang beralasan tidak tahan dengan pekerjaannya yang sangat melelahkan, ada yang beralasan ingin mencari kerja yang gajinya lebih tinggi, dan sebagainya. Hal tersebut tentunya sah-sah saja terjadi di dunia kerja karena pada dasarnya semua keputusan tergantung pada pribadi masing-masing. Namun di sisi lain, hal tersebut menunjukkan tingginya gengsi alumni perguruan tinggi dalam memilih kerja. Secara tidak langsung pula, para alumni kampus tersebut menganggap rendah golongan pekerja lulusan SMA kebawah.
Selain beberapa hal tersebut, faktor minimnya lapangan pekerjaan juga memengaruhi tingginya tingkat pengangguran dari kalangan sarjana dan diploma. Hal tersebut disebabkan kurangnya kemampuan mereka dalam membuka lahan pekerjaan baru. Mereka hanya punya kemampuan mendaftar kerja dengan perantara ijazah sarjana maupun diplomanya. Oleh karena itu penguasaan kemampuan khusus di luar jurusan perkuliahannya sangatlah penting untuk dipelajari selama kuliah agar bisa mengatasi masalah minimnya lahan pekerjaan pasca-wisuda.
Walau tingkat pengangguran dari golongan alumni kampus meningkat, namun tidak sedikit mahasiswa yang berusaha mengasah kemampuan-kemampuan khusus di luar bangku perkuliahan. Kemampuan yang dimaksud seperti: menulis, organisasi, berbisnis, olahraga, membaca kitab kuning, dan lain sebagainya. Mereka mengasah kemampuan-kemampuan tersebut secara teratur melalui organisasi, komunitas, Unit Kegiatan Mahasiswa (UKM), bahkan ada pula yang mengasahnya secara otodidak/ tanpa mengikuti suatu perkumpulan.
Secara sederhana, mahasiswa tersebut bisa diklasifikasikan menjadi beberapa jenis misalnya: mahasiswa aktivis, mahasiswa pebisnis, mahasiswa akademis, mahasiswa kupu-kupu (kuliah-pulang, kuliah-pulang), dan lain sebagainya. Mereka memiliki prioritas khusus di luar bangku kuliah. Bahkan tidak sedikit dari mereka yang lebih menikmati proses di luar kelas daripada di dalam kelas. Menurut mereka, pembelajaran di dalam kelas sangatlah monoton. Interaksi maupun debat ilmiah antara mahasiswa dan dosen sangatlah minim bahkan hampir tidak pernah.
Jenis mahasiswa yang pertama ialah mahasiswa aktivis. Mereka biasanya menghabiskan lebih banyak waktunya untuk mengurusi organisasi mulai dari kepengurusan, diskusi, kaderisasi, dan lain sebagainya. Oganisasi yang mereka geluti pun berasal dari berbagai jenis latar belakang yang berbeda mulai dari organisasi daerah, organisasi keagamaan, hingga organisasi ekstra kampus. Contohnya saja organisasi ekstra kampus yang banyak digeluti ialah Pergerakan Mahasiswa Islam Indonesia (PMII), Himpunan Mahasiswa Islam (HMI), dan lain-lain. Mereka rutin melakukan pertemuan skala kecil maupun besar setelah kuliah selesai (sore/malam). Mereka biasanya berkumpul di kampus, angkringan, dan sebagainya untuk mengurusi organisasi. Mahasiswa tipe ini memiliki dampak positif yaitu ia bisa lebih bermanfaat bagi orang-orang di sekitarnya. Rasa simpati dan empati mereka lebih peka karena terbiasa diasah dalam kegiatan organisasi. Namun mereka juga memilki sisi negatif yaitu terkadang urusan kuliah mereka seperti tugas sering tercecer. Bahkan tidak sedikit dari mereka yang sering mengantuk saat pelajaran di dalam kelas karena terbiasa begadang di malam harinya. Hal tersebut tentunya harus diatur dengan baik sehingga tidak terjadi hal-hal negatif.
Ada juga tipe mahasiswa pebisnis. Mereka merupakan mahasiswa yang mengeyam bangku kuliah sambil belajar berbisnis. Mereka berusaha agar mampu mencukupi kebutuhan pribadi menggunakan uang hasil keringat sendiri tanpa mengandalkan kiriman uang dari orang tua. Belajar bisnis memang perlu dilatih sejak dini agar nantinya saat lulus kuliah, sembari menunggu beasiswa maupun diterima kerja di suatu perusahaan, mereka bisa berproses dengan baik tanpa menganggur. Bahkan beberapa dari mahasiswa pebisnis ini, sudah mampu mencukupi kebutuhan pribadi dan Uang Kuliah Tunggal (UKT) sendiri. Hal tersebut tentunya sangatlah positif karena beban orang tua menjadi lebih ringan. Namun mahasiswa tipe ini juga memiliki kekurangan yaitu mereka terkadang terlena saat bisnisnya sedang melejit. Tidak sedikit dari mereka yang mulai menyepelekan kuliahnya bahkan skripsinya menjadi mangkrak.
Selain dua tipe yang telah disebutkan, ada pula tipe mahaiswa akademis. Akademis yang dimaksud di sini ialah mahasiswa yang fokus untuk mencapai prestasi akademik yang tinggi baik capaian Indeks Prestasi Kumulatif (IPK) maupun piala kompetisi-kompetisi. Umumnya mereka tidak terlalu meninjool saat mengikuti organisasi bahkan tidak sedikit dari mereka yang hanya fokus mengejar capaian akademik tanpa mengikuti organisasi-organisasi. Tipe ini memilki sisi positif dan negatifnya sendiri. Sisi positifnya ialah mereka punya kebanggan sendiri apabila bisa mencapai IPK tertinggi saat wisuda. Mereka bisa membuat bangga kedua orang tua beserta orang-orang terdekatnya. Namun sisi negatifnya ialah ia sangat merugi karena waktu kuliah selama kurang lebih 4 tahun menyisakan banyak waktu terbuang tanpa mengasah kemampuan khusus, memperbanyak relasi, dan semacamnya. Namun jika disertai kemampuan khusus seperti menulis, ia akan lebih baik karena pasca-wisuda ia sudah cukup menguasai kemampuan yang terbilang penting yang akan sangat berguna baik di dunia kerja maupun lainnnya.
Ada pula tipe mahasiswa yang hanya memiliki rutinitas kuliah-pulang kuliah-pulang saja. Mahasiswa jenis ini mayoritas tidak mengikuti organisasi atau perkumpulan apapun. Mereka lebih menutup diri dari pergaulan sekitarnya. Beberapa dari mereka bahkan apatis terhadap permasalahan-permasalahan yang ada di sekitarnya. Mahasiswa tipe ini pun punya sisi positif dan negatifnya. Sisi posistifnya ialah ia tidak mudah terpengaruh lingkungan sekitarnya. Terkadang lingkungan yang buruk juga turut memengaruhi perilaku buruk seseorang. Namun sisi negatifnya ialah ia hanya memiliki sedikit relasi atau teman. Ia pun menjadi kekurangan kemampuan dalam hal berorganisasi. Padahal relasi dan kemampuan berorganisasi merupakan hal yang cukup penting bagi kehidupan pasca-wisuda.
Dari beberapa hal yang telah dijelaskan, tentunya semua pilihan mengandung resiko tersendiri. Namun hal tersebut merupakan hal yang wajar karena memang hidup ini penuh dengan tantangan, pilihan, dan resiko. Semuanya tergantung kepada diri sendiri tentang bagaimana cara mengatur waktu dengan baik supaya waktu kuliah sekitar 4 tahun tidak terbuang sia-sia begitu saja. Karena kehidupan pasca-wisuda membutuhkan banyak kemampuan khusus, maka mengandalkan IPK saja merupakan hal yang sangat konyol bagi masa depannya.
Mengenyam bangku perkuliahan tentunya menjadi impian banyak orang. Mereka berharap setelah mendapatkan ijazah sarjana atau diploma, karir akan melesat. Mereka ingin mendapatkan gaji tinggi dengan cepat dan mudah. Beberapa dari mereka berpendapat bahwa ijazah perkuliahan juga dapat melesatkan promosi naik jabatan saat mereka bekerja di suatu perusahaan.
Namun fakta yang terjadi di lapangan ialah tingkat pengangguran dari kalangan berpendidikan tinggi meningkat setiap tahun. Berdasarkan data Badan Pusat Statistika (BPS), dalam jangka waktu Februari 2017 hingga Februari 2019, jumlah pengangguran dari kalangan sarjana meningkat sebanyak 25% dan diploma meningkat 8,5%. Hal tersebut sangatlah berbeda 180 derajat dari ekspektasi mahasiswa. Ijazah tidak selamanya bisa menjamin kehidupan yang baik pasca-wisuda. Semuanya tergantung dari kepribadian mahasiswa itu sendiri mulai dari tingkat keuletan, tingkat ketahan-bantingan, dan berbagai sifat serta kemampuan khusus lainnya.
Tidak hanya itu saja, ada hal menarik lain dari data yang disajikan oleh BPS. Dalam rentang waktu yang sama, jumlah pengangguran dari kalangan Sekolah Dasar (SD) menururn sebanyak 25%, Sekolah Menengah Pertama (SMP) turun 6%, Sekolah Menengah Atas (SMA) turun 3,6%, dan Sekolah Menengah Kejuruan (SMK) turun 6,9%. Hal tersebut menunjukkan bahwa kualitas pendidikan yang tinggi tidak menjamin prospek kerja yang tinggi pula. Secara tidak langsung, hal tersebut menunjukkan bahwa para pekerja lulusan SMA kebawah lebih giat dan tidak pilah-pilih terkait pekerjaan.
Kenyataan di lapangan, para pekerja dari kalangan sarjana maupun diploma memiliki gengsi yang lebih tinggi dibandingkan lulusan SMA kebawah. Para alumni kampus tersebut tidak mau bekerja di bidang-bidang yang membutuhkan tenaga kasar seperti kuli, tukang bersih-bersih, penerima tamu, dan sebagainya. Mereka lebih menginginkan kerja di bidang-bidang yang tidak memerlukan banyak tenaga, bidang-bidang yang tidak perlu berpanas-panasan di bawah terik matahari, maupun bidang-bidang yang hanya perlu duduk di ruang ber-AC dengan mengoperasikan komputer atau laptop. Oleh karena itu pada bidang-bidang yang telah disebutkan, para pekerjanya dipenuhi oleh lulusan SMA kebawah.
Sekalipun banyak lulusan perguruan tinggi yang bekerja di perusahaan, namun tidak sedikit dari mereka yang bekerja tidak sesuai keahlian. Misalnya saja banyak alumni kampus yang bukan jurusan Perbankan bekerja di bank maupun koperasi. Beberapa alumni perguruan tinggi yang bukan lulusan kelautan maupun perikanan namun bekerja di bidang itu. Hal tersebut tentunya menguras banyak waktu untuk mengikuti pelatihan prakerja.
Saat sudah memasuki pertengahan kerja pun, tidak sedikit dari alumni kampus tersebut yang memilih keluar dari bidang tersebut. Ada yang beralasan tidak menikmati bidangnya, ada yang beralasan tidak tahan dengan pekerjaannya yang sangat melelahkan, ada yang beralasan ingin mencari kerja yang gajinya lebih tinggi, dan sebagainya. Hal tersebut tentunya sah-sah saja terjadi di dunia kerja karena pada dasarnya semua keputusan tergantung pada pribadi masing-masing. Namun di sisi lain, hal tersebut menunjukkan tingginya gengsi alumni perguruan tinggi dalam memilih kerja. Secara tidak langsung pula, para alumni kampus tersebut menganggap rendah golongan pekerja lulusan SMA kebawah.
Selain beberapa hal tersebut, faktor minimnya lapangan pekerjaan juga memengaruhi tingginya tingkat pengangguran dari kalangan sarjana dan diploma. Hal tersebut disebabkan kurangnya kemampuan mereka dalam membuka lahan pekerjaan baru. Mereka hanya punya kemampuan mendaftar kerja dengan perantara ijazah sarjana maupun diplomanya. Oleh karena itu penguasaan kemampuan khusus di luar jurusan perkuliahannya sangatlah penting untuk dipelajari selama kuliah agar bisa mengatasi masalah minimnya lahan pekerjaan pasca-wisuda.
Walau tingkat pengangguran dari golongan alumni kampus meningkat, namun tidak sedikit mahasiswa yang berusaha mengasah kemampuan-kemampuan khusus di luar bangku perkuliahan. Kemampuan yang dimaksud seperti: menulis, organisasi, berbisnis, olahraga, membaca kitab kuning, dan lain sebagainya. Mereka mengasah kemampuan-kemampuan tersebut secara teratur melalui organisasi, komunitas, Unit Kegiatan Mahasiswa (UKM), bahkan ada pula yang mengasahnya secara otodidak/ tanpa mengikuti suatu perkumpulan.
Secara sederhana, mahasiswa tersebut bisa diklasifikasikan menjadi beberapa jenis misalnya: mahasiswa aktivis, mahasiswa pebisnis, mahasiswa akademis, mahasiswa kupu-kupu (kuliah-pulang, kuliah-pulang), dan lain sebagainya. Mereka memiliki prioritas khusus di luar bangku kuliah. Bahkan tidak sedikit dari mereka yang lebih menikmati proses di luar kelas daripada di dalam kelas. Menurut mereka, pembelajaran di dalam kelas sangatlah monoton. Interaksi maupun debat ilmiah antara mahasiswa dan dosen sangatlah minim bahkan hampir tidak pernah.
Jenis mahasiswa yang pertama ialah mahasiswa aktivis. Mereka biasanya menghabiskan lebih banyak waktunya untuk mengurusi organisasi mulai dari kepengurusan, diskusi, kaderisasi, dan lain sebagainya. Oganisasi yang mereka geluti pun berasal dari berbagai jenis latar belakang yang berbeda mulai dari organisasi daerah, organisasi keagamaan, hingga organisasi ekstra kampus. Contohnya saja organisasi ekstra kampus yang banyak digeluti ialah Pergerakan Mahasiswa Islam Indonesia (PMII), Himpunan Mahasiswa Islam (HMI), dan lain-lain. Mereka rutin melakukan pertemuan skala kecil maupun besar setelah kuliah selesai (sore/malam). Mereka biasanya berkumpul di kampus, angkringan, dan sebagainya untuk mengurusi organisasi. Mahasiswa tipe ini memiliki dampak positif yaitu ia bisa lebih bermanfaat bagi orang-orang di sekitarnya. Rasa simpati dan empati mereka lebih peka karena terbiasa diasah dalam kegiatan organisasi. Namun mereka juga memilki sisi negatif yaitu terkadang urusan kuliah mereka seperti tugas sering tercecer. Bahkan tidak sedikit dari mereka yang sering mengantuk saat pelajaran di dalam kelas karena terbiasa begadang di malam harinya. Hal tersebut tentunya harus diatur dengan baik sehingga tidak terjadi hal-hal negatif.
Ada juga tipe mahasiswa pebisnis. Mereka merupakan mahasiswa yang mengeyam bangku kuliah sambil belajar berbisnis. Mereka berusaha agar mampu mencukupi kebutuhan pribadi menggunakan uang hasil keringat sendiri tanpa mengandalkan kiriman uang dari orang tua. Belajar bisnis memang perlu dilatih sejak dini agar nantinya saat lulus kuliah, sembari menunggu beasiswa maupun diterima kerja di suatu perusahaan, mereka bisa berproses dengan baik tanpa menganggur. Bahkan beberapa dari mahasiswa pebisnis ini, sudah mampu mencukupi kebutuhan pribadi dan Uang Kuliah Tunggal (UKT) sendiri. Hal tersebut tentunya sangatlah positif karena beban orang tua menjadi lebih ringan. Namun mahasiswa tipe ini juga memiliki kekurangan yaitu mereka terkadang terlena saat bisnisnya sedang melejit. Tidak sedikit dari mereka yang mulai menyepelekan kuliahnya bahkan skripsinya menjadi mangkrak.
Selain dua tipe yang telah disebutkan, ada pula tipe mahaiswa akademis. Akademis yang dimaksud di sini ialah mahasiswa yang fokus untuk mencapai prestasi akademik yang tinggi baik capaian Indeks Prestasi Kumulatif (IPK) maupun piala kompetisi-kompetisi. Umumnya mereka tidak terlalu meninjool saat mengikuti organisasi bahkan tidak sedikit dari mereka yang hanya fokus mengejar capaian akademik tanpa mengikuti organisasi-organisasi. Tipe ini memilki sisi positif dan negatifnya sendiri. Sisi positifnya ialah mereka punya kebanggan sendiri apabila bisa mencapai IPK tertinggi saat wisuda. Mereka bisa membuat bangga kedua orang tua beserta orang-orang terdekatnya. Namun sisi negatifnya ialah ia sangat merugi karena waktu kuliah selama kurang lebih 4 tahun menyisakan banyak waktu terbuang tanpa mengasah kemampuan khusus, memperbanyak relasi, dan semacamnya. Namun jika disertai kemampuan khusus seperti menulis, ia akan lebih baik karena pasca-wisuda ia sudah cukup menguasai kemampuan yang terbilang penting yang akan sangat berguna baik di dunia kerja maupun lainnnya.
Ada pula tipe mahasiswa yang hanya memiliki rutinitas kuliah-pulang kuliah-pulang saja. Mahasiswa jenis ini mayoritas tidak mengikuti organisasi atau perkumpulan apapun. Mereka lebih menutup diri dari pergaulan sekitarnya. Beberapa dari mereka bahkan apatis terhadap permasalahan-permasalahan yang ada di sekitarnya. Mahasiswa tipe ini pun punya sisi positif dan negatifnya. Sisi posistifnya ialah ia tidak mudah terpengaruh lingkungan sekitarnya. Terkadang lingkungan yang buruk juga turut memengaruhi perilaku buruk seseorang. Namun sisi negatifnya ialah ia hanya memiliki sedikit relasi atau teman. Ia pun menjadi kekurangan kemampuan dalam hal berorganisasi. Padahal relasi dan kemampuan berorganisasi merupakan hal yang cukup penting bagi kehidupan pasca-wisuda.
Dari beberapa hal yang telah dijelaskan, tentunya semua pilihan mengandung resiko tersendiri. Namun hal tersebut merupakan hal yang wajar karena memang hidup ini penuh dengan tantangan, pilihan, dan resiko. Semuanya tergantung kepada diri sendiri tentang bagaimana cara mengatur waktu dengan baik supaya waktu kuliah sekitar 4 tahun tidak terbuang sia-sia begitu saja. Karena kehidupan pasca-wisuda membutuhkan banyak kemampuan khusus, maka mengandalkan IPK saja merupakan hal yang sangat konyol bagi masa depannya.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar